Teori Nebula hanyalah satu dari sekian banyak teori tentang pembentukan alam semesta. Kita tahu, ada tiga sosok yang dikait-kaitkan dengan teori ini: Emanuel Swedenborg, Immanuel Kant dan Pierre-Simon Laplace. Kita juga tahu bahwa Swedenborg-lah yang pertama kali mengemukakannya di tahun 1737, lantas disempurnakan oleh Kant pada tahun 1755 lewat bukunya yang diberi judul Universal Natural History and Theory of the Heavens. Pada tahun 1796, Laplace juga mempublikasikan teori yang sama, tetapi dengan pendekatan yang berbeda (kasus ini hampir serupa seperti sejarah penemuan kalkulus antara Sir Isaac Newton dan Gottfried Wilhelm Leibniz). Namun yang akan kita bahas disini bukanlah proporsi dari teori yang dikemukakan oleh ketiga cendikiawan tersebut, tetapi lebih kepada koherensinya dengan satu ayat Al-Quran yang artinya lebih kurang:
“Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan patuh’.”
[QS. Fussilat: Ayat 11]
[QS. Fussilat: Ayat 11]
Dari ayat di atas, jelas dikatakan bahwa ‘langit masih berupa asap’. Asap disini dapat kita definisikan sebagai kabut. Sedangkan kabut adalah esensi dari teori nebula yang mahsyur itu. Pertanyaan yang terkesan konyol namun perlu kita ajukan untuk menanggapi hal ini adalah “apakah Swedenborg, Kant dan Laplace membaca Al-Quran?”
Dari surah Ar-Rahman ayat 37 dan Teleskop Hubble melalui NASA. Al-Quran telah menyebutkan hampir 1415 tahun yang lalu tentang 'Cat Eye Nebula'. Yaitu bintang yang jaraknya 3.000 tahun cahaya meledak dan menciptakan fenomena mawar merah ini. 'Oily Red Rose Nebula' ini telah dinyatakan dalam surah Ar-Rahman ayat 37 yaitu " Ketika langit terkoyak, menjadi mawar merah seperti kilatan minyak."
Ini perlu, mengingat Al-Quran adalah kitab suci pertama yang mengemukakan Teori Nebula, berabad-abad mendahului ketiga filsuf tersebut. Memang kalau ditilik secara mendalam, Swedenborg pernah mengemukakan pendapatnya tentang Islam (dia menyebut orang Islam dengan sebutan Mohammedans) di dalam buku Last Judgment Posthomus yang dipublikasikan pada tahun 1762. Dalam buku itu dia tidak menuangkan pendapatnya secara pasti apakah Al-Quran itu wahyu ilahi atau bukan, tetapi dia mengatakan bahwa kitab itu ditulis langsung oleh Nabi Muhammad, meskipun secara historis dia keliru. Dengan demikian, artinya Swedenborg telah membaca Al-Quran. Perihal Kant, kita bisa melihat pada kopian sertifikat thesis doktoralnya yang berangka tahun 1755. Jika dicermati dengan teliti, disana tertera dengan jelas kalimat basmalah yang ditulis langsung dengan bahasa Arab. Selain itu, menurut Roger Garaudy, pandangan Kant tentang ‘imajinasi trasendental’ dalam penciptaan, sangat dekat dengan pandangan filsuf dan sufi wujudiyah Ibnu Arabi. Menanggapi hal itu, barangkali kita akan tenggelam dalam skeptisme yang panjang. Namun secara rasional, bisa disimpulkan bahwa Kant juga telah membaca Al-Quran. Oia, kita hampir melupakan Laplace. Amat sedikit bukti kedekatan Laplace dan Al-Quran. Yang ada justru kisah tentang penyangkalannya kepada Sang Pencipta tatkala Napoleon bertanya padanya tentang penciptaan alam semesta. Lagi pula, dia baru menyimpulkan teorinya belakangan. Dan itu dapat menjadi alasan kuat, bahwa mau tidak mau, Laplace terpengaruh oleh ide Swedenborg dan Kant. Nah. Sekarang kita ambil sisi positifnya. Meskipun Swedenborg dan Kant telah membaca Al-Quran, toh itu tidak akan menjadikan mereka secara instan sebagai mualaf. Hal ini bisa disamakan dengan para ahli hukum yang sudah membaca Pancasila dan UUD ’45, tapi tetap saja menerima suap. Atau dokter yang membaca kode etik Hipokrates, tapi tetap setengah hati menolong orang sakit sebelum pakai uang muka.
sumber : http://www.vemale.com/galeri/6-tanda-keajaiban-dan-kebesaran-sang-pencipta.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar